PERTAMA KALI AKU BEKERJA


Dari Saudara Kreting
Hai, semuanya? Aku mau berbagi cerita nyata lagi nih. Sebenarnya bingung masuk kategori cerita apa karena ceritanya lumayan panjang dan berbasa-basi gitu tapi ini nyata. Kejadianya tahun 2014, aku baru menyelesaikan pendidikan pokoknya sudah gak sabar banget kepingin kerja. Aku coba bertanya sama kawan mengenai lowongan kerja tapi harus menunggu lama dan lama sangat lama dan membosankan.
Pagi itu aku iseng cari sendiri di si google dan lumayan dapat beberapa, jam 10.00 aku pergi ke tempat fax terus di fax deh Curriculum Vitae (CV)-nya lalu pulang. Kaget banget jam 11.00 aku dapat panggilan dan besok di usahakan sudah ada di kantornya. Dengan senang hati aku bergegas beres-beres dan memberitahu ibuku, ibu sangat senang dan langsung telepon ayah. Aku pamit kepada ibu kalau ayah gak ada lagi kerja langsung deh aku berangkat naik bus pahala kencana Cikampek to Surabaya.
Aku sampai kantornya tepat waktu, di situ nego, tanda tangan, dan kerja deh. Aku di tempat kan di sebuah kapal cargo container yang lumayan besar panjang kapalnya 147 meter dengan line Surabaya – Samarinda. Selesai muat kapal pun berangkat. Setelah 2 hari perjalanan cuaca sangat tidak bersahabat hujan turun dengan deras tepatnya pukul 02.45 WIB hal mengerikan terjadi, kapal menghantam sesuatu hingga mengalami kebocoran di bagian haluan (depan) setelah di cek ada robekan 1 meter di bagian depan hingga air laut masuk sangat deras.
Kapal sudah tidak stabil, karena aku perwira mesin aku tetap di ruang mesin untuk memastikan keadaan mesin tetap baik. Kestabilan kapal semakin memburuk kapal terus bertambah miring. Ketegangan dan kekhawatiran bertambah ketika ada salah satu crew kapal datang dan memberiku baju pelampung (alat keselamatan) dan mengingatkan untuk segera menuju ke tempat sekoci bila alarm bahaya berbunyi. Aku dan rekan kerjaku nama panggilannya odong yang sudah lama bekerja di kapal ini tidak bisa menahan air mata ketika dia becerita bahwa di laut yang kita lewati sudah banyak memakan korban, sudah banyak kapal yang tenggelam di laut ini bahkan pernah di temukan kapal yang tidak ada awak kapalnya.
Setelah beberapa lama cuaca manjadi bersahabat di iringi terbitnya mentari kestabilan kapal pun membaik. Aku, odong dan tentunya rekan kerja yang lain merasa senang banget kita pun berhasil menyelesaikan masalah kebocoran itu dan dapat melanjutkan pelayaran kembali. Season berikutnya sampailah kita di Muara, entah bagaimana dan kenapa tiba-tiba kapal kandas. Waduh padahal sudah tinggal sedikit lagi kita sampai tujuan ada-ada saja gumamku dalam hati.
Selama 2 hari kapal tidak bisa berkutik sama sekali. Sore itu kita dapat kabar dari kepanduan setempat dan ini mitos setempat katanya di haruskan untuk mencoba melempar 2 buah telur ayam ke Muara. Dan captain kapal pun mencobanya, pergilah tuh si captain ke haluan kapal dan melemparkan 2 buah telur ayam. Hasilnya aneh tapi nyata kapal bisa kembali melaju, aku sih cuma geleng kepala bersyukur dan heran kenapa kok bisa begitu. Tiba juga di Samarinda kapal pun berlabuh, aku sama si odong pun gak pakai lama langsung melampiaskan ke gembiraan dengan jalan-jalan di kota Samarinda, hura-hura ke mall, main biliar, belanja kebutuhan dan lain-lain.
Kapal pun bongkar muatan dan melanjutkan route ke Sampit. Setibanya di Sampit kapal pun berlabuh. Kicauan burung seakan mengucapkan selamat datang padaku. Tempatnya tidak terlalu ramai dan sebenarnya aku tidak terlalu tertarik buat jalan-jalan karena persediaan kebutuhan pun aku kira masih cukup. Tapi si odong memaksaku buat jalan-jalan. Oke lah odong, waktu itu sehabis maghrib aku odong dan 2 teman yang lain namanya wahid sama ujang berencana untuk jalan-jalan.
Kalau mau ke darat kita harus naik perahu motor yang hanya bisa di tumpangi 3 orang. Berangkatlah si odong dan wahid duluan. Setelah itu giliran aku deh sama si ujang. Di perjalanan perahu motor, karena si ujang ini masih satu daerah Jawa Barat kita pun ngobrol menggunakan bahasa daerah. Lagi asik ngobrol tiba-tiba perahu menabrak sesuatu gak tahu deh apaan tuh di air yang jelas bukan anaconda soalnya gelap. Mesin perahu mati dan banyak air yang masuk ke perahu.
Si bapak tukang perahu segera menyerokin air pakai gayung, seketika aku dan ujang ikut membantu walau hanya dengan tangan kosong karena takut tenggelam. Setelah itu si bapak tukang perahu langsung menghidupkan mesin perahunya dan sepertinya nasib gak baik lagi menimpa kami karena tuh mesin gak mau hidup. Sekitar setengah jam berlalu baru tuh bisa hidup lagi mesin perahunya (mungkin dia lelah tadi) dan kita pun melanjutkan perjalanan. Sudah hampir satu jam tapi belum sampai juga.
Aku: pak, kira-kira tadi apa ya yang kita tabrak?
BTP (bapak tukang perahu): wah saya juga kurang tahu.
Aku: memang masih jauh ya pak, kok lama?
BTP: itu dia, seharusnya sudah sampai tapi kemanakah dermaganya.
Perasaan aku mulai gak enak lihat si bapak ini wajahnya kayak kebingungan dan ketakutan.
Aku: bapak ini gimana sih, bukanya bapak sudah lama disini kok gak tahu?
BTP: iya pak saya memang sudah lama tapi tempat ini asing banget.
Waduh aku di panggil pak, aku ini masih single usiaku 22 tahun (jawabku dalam hati).
Ujang: sudah pak mending kita balik arah sajah.
BTP: oh iya.
Bapak tukang perahu mengikuti saran si ujang dan kita pun balik arah. Beberapa lama kemudian aku mendengar suara teriakan si odong.
Aku: itu pak disana (sambil menunjuk ke arah si odong yang sedang berteriak sambil melambaikan tangannya).
BTP: ok, siap.
Akhirnya sampai juga perahu pun bersandar ke dermaga. Rupanya dari perahu nabrak itu sebenarnya kita sudah sampai, si odong bilang perahu kita nabrak kayu besar.
Odong: tadi kemana dulu kok lama, memang gak dengar apa saya panggil-panggil?
Aku: tadi tuh yang aku lihat di pinggiran itu cuma pohon besar dan semak yang gelap gak ada suara apa-apa.
Aku pikir sepertinya si bapak tukang perahu atau si ujang juga lihatnya sama denganku. Baru kita berempat mau jalan eh si bapak tukang perahu nyamperin dia bilang minta maaf kalau tidak bisa mengantar kita kembali ke kapal karena dia baru ngalamin kejadian tadi dan terlihat ketakutan, padahal sudah aku coba rayu aku bakal bayar 3x lipat tapi dia tetap memutuskan untuk langsung pulang.
Ya sudah satu0satunya jalan untuk kembali ke kapal kita harus naik perahu yang letaknya 2 KM, melalui jalan setapak, hutan, dan jembatan yang konon angker banget. Dan jangan lewat jam 23.00 malam. Karena jam segitu sudah enggak ada tukang perahu. Setelah ngantar si ujang sama si wahid beli keperluan kita pun langsung ke season jalan kaki 2 KM. Awalnya sih biasa saja jalan sambil ngobrol karena masih ada rumah penduduk tapi saat masuk hutan gelap yang cuma mengandalkan cahaya bulan kecepatan jalan kakinya jadi bertambah dan aku jalan paling belakang.
Tiba-tiba saja ketiga orang temanku ini kok jalanya jadi pelan gitu sehingga aku paling depan, ternyata oh ternyata di depan kita akan melewati jembatan yang katanya angker banget gitu. Jujur saja aku sih sudah terbiasa jalan di hutan gelap walau sendirian karena lokasi rumah aku memang seperti itu tapi jembatan ini hawanya aneh gak enak banget, jembatan kayu yang sudah tua banget. Aku ucap salam dan permisi, saat kaki aku berpijak di atas jembatan aku merasa gak karuan langkah aku seperti terkunci dan gak bisa bergerak.
Aku ingin baca doa pun susah, mau baca doa dalam hatipun sama susah banget seluruhnya seperti kaku terkunci. Sampai temanku menabrak dari belakang, baru deh aku bisa menguasai diri dan melanjutkan langkah kaki kembali. Yang menabrak itu si odong.
Odong: *yeh, kok malah berhenti.
Aku: alhamdulillah, enggak, enggak apa-apa.
Odong: ayo cepat entar tukang perahunya keburu pada pulang.
Aku: iya, ayo.
Aku kembali berjalan dan karena penasaran aku menengok-nengok ke sekitar jembatan tapi tidak ada apa-apa. Jalan mereka kembali bertambah cepat, dan aku kembali berjalan paling belakang. Sesekali aku menengok kebelakang ke arah jembatan yang tadi kita lewati, tapi tetap tidak ada apa-apa. Suasana kembali normal setelah ada rumah penduduk walau sudah sepi, perjalanan pun di iringi obrolan lagi sampai kita tiba di tempat perahu. Waktu masih jam 22.45 tapi sudah tidak ada tukang perahu. Kita pun memutuskan untuk beristirahat dulu di warung yang sudah tutup.
Setengah jam berlalu, aku melihat keadaan sekitar sudah tidak ada orang. Teman-temanku pun pada berbaring di sebuah kursi panjang tiduran karena lelah, hanya aku yang masih duduk. Tiba-tiba saja ada sebuah ranting kayu sepanjang satu meter yang jatuh tepat di atas kedua tanganku. Sontak saja aku kaget dan bingung, aku lihat di atasku atap genteng warung dan bukan pohon. Dan tidak ada pohon di sekitar warung, lalu aku bertanya sama si odong yang lagi asik tiduran.
Aku: dong ini ranting jatuh dari pohon mana?
Tapi si odong gak menjawab, mereka bertiga malah lirik-lirikan melihat ke atasku dan langsung pada lari meninggalkan aku sendiri di warung yang tutup ini. Aku tetap duduk dan heran, aku lihat ke atas dan belakang juga enggak ada apa-apa. Aku pegang dan aku perhatikan ranting kayu ini sepertinya dari jenis pohon durian. Tidak berapa lama mereka bertiga kembali.
Aku: kok pada lari sih?
Wahid: enggak apa-apa.
Sambil melirik-lirik ke atasku. Mereka kembali duduk dan menghela nafas. Gak lama kemudian handphone aku berbunyi, terus aku lihat itu panggilan dari ayahku dan langsung aku jawab. Ayahku hanya menanyakan kabar dan berpesan supaya berhati-hati habis itu gantian ibu aku yang ngomong dan berpesan juga untuk selalu melaksanan shalat lima waktu, aku jawab iya dan perjalanan aku lancar dan baik-baik saja karena aku tidak ingin mereka khawatir. Setelah telepon di tutup aku melihat dari jauh ada seorang perempuan berjalan menuju kami. Dan ternyata itu ibu si pemilik warung, betapa senangnya kita berempat ibu ini baik banget, aku mencoba memesan 4 gelas kopi dan si ibu bersedia membuatkannya padahal sudah jam 12 malam lebih.
Di situ kita ngobrol sama si ibu, katanya sih dulu sungai ini tuh bekas pembuangan mayat orang Madura yang meninggal karena di bantai orang suku Dayak. Potongan kepala, tangan, kaki, badan mengambang begitu saja mengalir di atas sungai. Si ibu ini asli penduduk Sampit dan kita tambah senang lagi karena suaminya itu orang Madura yang kebetulan berprofesi sebagai tukang perahu. Kita berempat sangat berterima kasih sama mereka berdua, sangat baik sekali karena saat aku ingin membayar kopi dan perahu dengan uang lebih mereka menolak dan bilang gak usah enggak apa-apa. Kita pun bisa kembali ke kapal.
Demikian akhir cerita nyata dari aku. Mohon maaf bila ada salah kata yang tidak berkenan, lagi-lagi tidak ada penampakannya ya, *hehe . Setiap orang mempunyai kekurangan dan kelebihan, sampai saat ini aku tidak pernah melihat hanya mendengar suara aneh dan mengalami kejadian aneh tapi aku percaya mereka ada bersama kita. 

Comments